Deregulasi perbankan
Dimulai
sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, BI memberikan keleluasaan kepada
bank-bank untuk menetapkan suku bunga. Pemerintah berharap dengan
kebijakan deregulasi perbankan maka akan tercipta kondisi dunia
perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang perekonomian.
Kebijakan
deregulasi perbankan ini kemudian terus terjadi dengan rangkaian
kebijakan-kebijakan lainnya. Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan
Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88). Memasuki tahun
1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi
ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada
1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat
itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan
BPR. UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang
kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank
yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak
melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit
fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992
juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan
fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Tabel Rangkaian Kebijakan Deregulasi Perbankan
Periode/Tahun
|
Kebijakan
|
1983
|
Awal mula deregulasi perbankan. Dikeluarkannya Paket Kebijakan Juni 1983 (Pakjun 83).
|
1988
|
Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) dikeluarkan oleh Pemerintah.
|
1991
|
Paket Kebijakan Februari 1991 dikeluarkan oleh BI.
|
1992
|
UU Perbankan disahkan, menggantikan UU No. 14/1967.
|
1992
|
Peraturan
Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi
Hasil. Cikal bakal legalisasi Bank Syariah di Indonesia.
|
Sumber : Sejarah Bank Indonesia: Perbankan Periode 1983-1997.
Tujuan Deregulasi Perbankan
Berdasarkan
dokumen “Sejarah Bank Indonesia: Perbankan Periode 1983-1997”, ada
beberapa sasaran atau tujuan strategis baik Pemerintah maupun BI
melakukan deregulasi perbankan, diantaranya adalah:
*Meningkatkan peran perbankan dalam pembangunan ekonomi.
*Menciptakan alat-alat moneter berdasarkan mekanisme pasar dan menjaga.
*Kestabilan moneter dengan menggunakan alat yang diciptakannya.
*Melakukan pengendalian devisa dan mendorong ekspor nonmigas.
*Menunjang pengembangan pasar modal.
* Menunjang pengembangan usaha kecil dan koperasi.
Untuk
mencapai sasaran strategis tersebut baik BI dan Pemerintah menetapkan
beberapa langkah strategis yaitu diantaranya adalah :
Menstimulus
perbankan sebanyak mungkin membiayai pemberian kreditnya dengan dana
simpanan masyarakat dan mengurangi ketergantungan bank-bank pada KLBI.
Mendorong perbankan untuk menciptakan produk-produk jasa perbankan baru maupun meningkatkan efisiensi dalam operasi bank.
Kredit (Macet) dan Praktek Rent-seeking
Deregulasi
perbankan mendorong aturan-aturan mengenai bank menjadi lebih mudah,
baik dari sisi pembuatan bank baru atau operasional bank itu sendiri.
Salah satu perubahan yang signifikasi terjadi adalah meningkatnya kredit
investasi ke sektor industri. Pada periode 1973-1982 rata-rata kredit
investasi hanya sebesar 30,1 persen. Angka ini kemudian meningkat pesat
setelah dilakukannya deregulasi perbankan. Tercatat terjadi peningkatan
sebesar 177,26 persen pada kredit investasi pada akhir tahun 1983.
(lihat Tabel 2)
Sebelum Deregulasi
|
Sesudah Deregulasi
|
Pada periode 1973-1982 rata-rata kredit investasi sebesar 30,1 persen. 47,03 % (1981) dan 50,4% (1982)
|
Terjadi peningkatan sebesar 177,26 persen pada kredit investasi pada akhir tahun 1983.
|
Sumber: Laporan Bulanan Bank Indonesia, disadur dari Satrio (1988)
Kebijakan
deregulasi perbankan yang memiliki tujuan mulia ini kemudian
terdistorsi akibat maraknya praktek para pemburu rente (Rent-seekers)
saat itu. Sebelum menganalisis pola rent seekingyang terjadi, penulis
akan mencoba mencari definisi dan apa saja yang lazim terjadi dalam
praktek rent-seeking. Di bawah ini adalah definisi rent-seeking menurut
OECD Dictionary:
The
opportunity to capture monopoly rents provides firms with an incentive
to use scarce resources to secure the right to become a monopolist. Such
activity is referred to as rent-seeking. Rent-seeking is normally
associated with expenditures designed to persuade governments to impose
regulations which create monopolies. Examples are entry restrictions and
import controls. However, rent-seeking may also refer to expenditures
tocreate private monopolies.
Berdasarkan definisi di atas maka praktek rent-seeking itu memiliki beberapa ciri:
1. Mencoba menerapkan praktek monopoli, khususnya sumber daya.
2. Adanya praktek merayu atau melobby Pemerintah guna mencari perlindungan atau mendapatkan hak guna sumber daya.
Jika
kita lihat konteks deregulasi perbankan dengan kaca mata rent-seeking,
kita akan mendapatkan dua ciri tersebut dalam penyalahgunaan kredit
perbankan oleh para pemburu rente. Wujud nyata dari praktek rent-seeking
ini adalah merebaknya kredit macet di awal tahun 1990-an.
Salah
satu kasus yang menghebohkan tentang kredit macet adalah kasus Edy
Tanzil. Peristiwa ini berawal dari keterangan anggota Komisi VII DPR RI,
A. Baramuli, ketika rapat kerja dengan Gubernur Bank Indonesia di DPR,
awal Februari 1994. Dalam rapat kerja itu, Hendro Budiarto-Direktur BI,
membenarkan adanya permasalahan tersebut. Tak lama kemudian, Menteri
Keuangan dan Direktur Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) juga
membenarkan hal ini dan memberikan keterangan langsung terkait kredit
macet sebesar 1,3 triliun rupiah kepada Edy Tanzil.
Pada
skandal Bapindo, ada beberapa pejabat Pemerintah yang disorot
habis-habisan oleh media pada saat itu. Nama-nama seperti Sudomo (Mantan
Ketua DPA), J. B. Sumarlin (Mantan Menteri Keuangan), Subekti Ismaun
(Mantan Direktur Utama Bapindo). Sudomo pada saat itu memberikan
rekomendasi pemberian kredit kepada Edy Tanzil saat dia menjabat sebagai
Menko Polkam. Pada saat kredit dikucurkan, J. B. Sumarlin juga sedang
menjabat sebagai Menteri Keuangan dan juga Ketua Dewan Komisaris
Bapindo. Permasalahan utama kasus Bapindo ini tidak hanya jumlah kredit
yang sangat besar (1,3 triliun) tetapi juga terkait kemungkinan
pelanggaran legal lending limit dan perubahan prosedur usance L/C
menjadi red clause L/C.
Skandal
kredit macet tidak hanya terjadi pada kasus Edy Tanzil tetapi juga
terjadi di perusahaan-perusahaan konglemerat saat itu. Kasus Mantrust,
Kasus Danamon, Kasus Bentoel, Kasus Summa-Astra. Selain itu, kasus
kredit macet juga terjadi di kalangan keluarga atau kerabat dekat
Cendana, contohnya adalah Bambang dan Tommy. Fenomena ini menujukkan
bahwa kebijakan dereguasi perbankan telah menyimpang jauh dari tujuannya
lantaran ulah tidak bertanggung jawab para konglomerat hitam pada saat
itu.
Tempo
(edisi 08/11/1997) juga mempertegas maraknya praktek rent-seeking pada
dunia perbankan kita saat itu. Tempo menyebutkan bahwa ada empat
“penyakit” perbankan yang dibawa Pakto 88. Pertama, bank-bank banyak
dikuasai para konglomerat. Di tangan konglomerat, suburlah praktek
insider lending alias pemberian kredit untuk kelompok usaha mereka
sendiri, padahal praktek tersebut terlarang bagi dunia perbankan. Kedua,
tingginya suku bunga. Ada bank swasta yang berani memasang tarif 30
persen setahun. Ketiga, pemilik bank memperkuat status-quo kesenjangan
penguasaan (monopoli) sumber ekonomi dalam masyarakat. Keempat,
investasi banyak dikucurkan ke sektor mewah, misalnya apartemen,
perkantoran mewah, dan lapangan golf. Sesuatu yang dianggap sebagai
investasi yang tidak tepat sasaran.
Dari
waktu ke waktu kondisi dunia perbankan di Indonesia telah mengalami
banyak perubaan. Selain disebabkan oleh perkembangan internal dunia
perbankan, juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan di luar dunia
perbankan, seperti sektor riil dalam perekonomian, politik, hukum, dan
sosial.
Perkembangan
faktor internal dan external tersebut menyebabkan kondisi perbankan di
Indonesia dapat dikelompokan dalam 4 periode. Masing – masing periode
mempunyai ciri khusus yagn tidak dapat disamakan dengan periode lainnya.
Deregulasi di sektor riil dan moneter yagn dimulai sejak tahun 1980 –
an serta terjadinya krisis ekonomi di Indonesia sejak akhir tahun 1990 –
an adalah dua peristiwa utama yang telah menyebabkan munculnya empat
periode kondisi perbankan di Indonesia sampai dengan tahun 2000.
Keempat periode itu adalah:
Kondisi
perbankan di Indonesia sebelum serangkaian paket – paket deregualsi di
sektor riil dan moneter yang dimulai sejak tahun 1980 – an. Kondisi
perbankan di Indonesia setelah munculnya deregulasi sampai dengan masa
sebelum terjadinya krisis ekonomi pada akhir tahun 1990 – an. Kondisi
perbankan di Indoneisa pada masa krisis ekonomi sejak akhir tahun 1990 –
an dan Kondisi perbankan di Indonesia pada saat sekarang ini.
Kondisi
sebelum deregulasi sangat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan ekonomi
dan politik dari Pemerintah. Tingkat inflasi yagn tinggi serta kondisi
ekonomi makro secara umum yang tidak bagus terjadi bersamaan dengan
kondisi perbankan yagn tidak dapat memobilisasikan dana dengan baik, hal
tersebut merupakan fenomena yang terjadi pada masa sebelum deregulasi
tersebut seolah – olah menjadi suatu lingkaran yang tidka ada ujung
pangkalnya serta saling mempengaruhi. Untuk mengatasi situasi tersebut,
ditempuh dengan cara melakukan serangkaian kebijakan berupa dergulasi di
sektor riil dan sektor moneter. Pada tahap awal deregulasi lebih cepat
dampaknya pada sektor moneter melalui perubahan di dunia perbankan.
Perubahan
yang terjadi juga termasuk peningkatan peraturan pada bidang – bidang
tertentu, sehingga deregulasi ini lebih tepat diartikan sebagai
perubahan – perubahan yang dimotori oleh otoritas moneter untuk
meningkatkan kinerja di dunia perbankan, dan pada akhirnya juga
diharapkan akan meningkatkan kinerja sektor riil.
Industri
perbankan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Dimulai pada
tahun 1983 ketika berbagai macam deregulasi mulai dilakukan pemerintah,
kemudian bisnis perbankan berkembang pada kurun waktu 1988-1996. Pada
pertengahan tahun 1997 industri perbankan akhirnya terpuruk sebagai
imbas dari terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi yang melanda
perekonomian Indonesia. Perubahan tersebut menyebabkan kondisi perbankan
di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) periode.
Tiap-tiap periode mempunyai ciri-ciri khusus yang tidak dapat disamakan
dengan periode lainnya.
Ketiga
periode tersebut yaitu: Pertama, kondisi perbankan di Indonesia sebelum
serangkaian paket deregulasi di sektor rill dan moneter yang dimulai
sejak tahun 1983, dimana kondisi perbankan masa itu sangat kuat
dipengaruhi oleh berbagai kepentingan ekonomi dan politik dari
pengusaha, dalam hal ini adalah pemerintah. Sehingga kondisi perbankan
tidak banyak mengalami perubahan. Secara lebih rinci keadaan perbankan
pada masa itu adalah sebagai berikut :
1. Tidak adanya Peraturan Perundang-undangan yang mengatur secara jelas tentang perbankan di Indonesia.
2. Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank tertentu.
3. Jumlah bank swasta yang relatif sedikit.
4. Sedikit muncul bank-bank baru.
5. Persaingan antar bank yang tidak ketat.
6. Prosedur berhubungan dengan bank yang rumit.
7. Bank bukan merupakan alternatif utama bagi masyarakat luas untuk menyimpan dan meminjam dana.
8. Mobilisasi dana lewat perbankan yang sangat rendah.
Kedua,
kondisi perbankan di Indonesia setelah deregulasi sampai dengan masa
sabelum terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi. Pada masa ini
pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi dengan harapan dapat
meningkatkan kinerja dunia perbankan, dan pada akhirnya diharapkan juga
akan meningkatkan kinerja di sektor rill. Kebijakan tersebut berisi
tentang penghapusan pagu kredit dan sistem kredit selektif disertai
dengan subsidi bunga, serta memberikan kebebasan kepada masing-masing
bank untuk menentukan tingkat suku bunga kredit dan penghimpunan dana,
sehingga menyebabkan tingkat inflasi yang tinggi dan menyebabkan kondisi
perbankan tidak bisa memobilisasi dananya dengan baik.
Untuk
mengatasi kondisi tersebut akhirnya pemerintah mengeluarkan berbagai
kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan peran perbankan dalam
meningkatkan kinerjanya di sektor rill melalui paket 27 Oktober 1988
yang dikenal dengan Pakto, dalam salah satu paketnya pemerintah
memberikan kemudahan membuka kantor bank. Kebijakan-kebijakan di atas
mengakibatkan banyak perubahan dalam dunia perbankan di Indonesia.
Ciri-ciri kondisi perbankan saat itu Antara lain :
1. Peraturan yang memberikan kepastian hukum.
2. Jumlah bank swasta bertambah banyak.
3. Tingkat persaingan bank yang semakin kuat.
4. Kepercayaan masyarakat terhadap bank meningkat.
5. Mobilisasi dana melalui sektor perbankan yang semakin besar.
Ketiga,
kondisi perbankan di Indonesia saat krisis moneter dan krisis ekonomi
pada akhir tahun 1997 sampai sekarang. Deregulasi dan penerapan
kebijakan sektor moneter dan rill menyebabkan perbankan mempunyai
kemampuan untuk meningkatkan kinerja ekonomi makro di Indonesia.
Perkembangan ini dalam waktu yang sangat singkat menjadi terhenti bahkan
mengalami kemunduran total akibat adanya krisis moneter dan krisis
ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1997. Krisis moneter dan krisis
ekonomi ini banyak menyebabkan perubahan dalam kondisi perbankan di
Indonesia, sehingga kondisinya sebagai berikut :
1. Tingkat kepercayaan masyarakat dalam dan luar negari terhadap
perbankan di Indonesia yang menurun drastis.
2. Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat.
3. Munculnya penggunaan Peraturan Perundangan yang baru.
4. Jumlah bank menurun.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kondisi di atas adalah :
1. Kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian yang konservatif
membuat semakin memburuknya kondisi perbankan saat ini, sehingga mengakibatkan
sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat.
2. Pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perbankan dan kinerja
bank nasional yang sangat buruk, dikarenakan lemahnya peraturan yang mengatur
perbankan di Indonesia.
3. Proporsi kredit bermasalah yang semakin besar dan tingkat
likuiditas yang rendah, membuat suku bunga antar bank menjadi sangat tinggi dan
berimbas pada hancurnya performance dunia usaha yang akhirnya Non Performing
Loan (NPL) menjadi tinggi. Hal ini mengakibatkan banyak perbankan yang sebagian
besar didominasi oleh bank-bank konvensional mengalami kesulitan untuk
melanjutkan usaha, sehingga tidak sedikit bank yang berakhir dengan melakukan
penutupan usaha atau dilikuidasi.
Risiko kredit merupakan perbandingan antara saldo akhir bermasalah
(Non Performing Loan) dengan total harta (asset) secara keseluruhan. Risiko
kredit yang disebabkan karena ketidakmampuan pihak debitur untuk memenuhi
kewajibannya kepada bank seperti pembayaran pokok pinjaman, pembayaran bunga
dan lain-lain tidak sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan, bila
tidak dikelola dengan baik maka akan mengakibatkan proporsi kredit bermasalah
yang semakin besar sehingga akan berdampak tehadap kondisi perbankan, yang pada
akhirnya dapat pula mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap tingkat
kesehatan bank.
Kondisi Sebelum Deregulasi
Masa Kolonial (Wilayah Hindia-Belanda)
· Mobilisasi dana dari investor untuk membiayai
kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan-perusahaan besar milik
colonial.
· Memberikan jasa-jasa keuangan kepada perusahaanperusahaan
besar milik kolonial, seperti giro, garansi bank,pemindahan dana, dll.
· Membantu pemindahan dana jasa modal dari
wilayah kolonial ke negara penjajah.
· Sebagai tempat sementara dari dana hasil
pemungutan pajak dari perusahaan penjajah maupun dari masyarakat pribumi, untuk
kemudian dikirim ke negara penjajah.
· Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk
membiayai kegiatan pemerintah kolonial.
Beberapa bank asing yang melakukan operasinya,
yaitu :
1. De Bankcourant yang didirikan pada tanggal 1
September 1752.
2. De Javasche Bank yang didirikan pada tahun
1828.
3. Nederlandsch Indische Escompto Maatschapij,
Nederlandsch Indische Handelsbank, dan Nederlandsche Handel Maatschapij mulai
beroperasiberturut-turut pada tahun 1857, 1864, dan 1883.
4. De Bank van Leening, pada tanggal 20 Agustus
1746.
5. The Chartered Bank of India, Australia and
China, Batavia tahun 1862.
6. Hongkong and Shanghai Banking Corporation,
Batavia tahun 1884.
7. Yokohama-Specie Bank, Batavia tahun 1919.
8. Taiwan Bank, tahun 1915, Batavia, Semarang,
dan Surabaya.
9. China and Southern Ltd., Batavia tahun 1920.
10. Mitsui Bank, Surabaya tahun 1925.
11. Overseas China Banking Corporation, Batavia tahun 1932.
Masa Setelah Kemerdekaan
a. Mobilisasi dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan-perusahaan besar milik pemerintah dan swasta.
b. Memberikan jasa-jasa keuangan kepada perusahaan-perusahaan besar.
c. Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah.
d. Menyalurkan dana anggaran untuk membiayai program dan proyek pada sektor - sektor yang ingin di kembangkan oleh pemerintah.
Keadaan perbankan masa sebelum deregulasi:
a.Tidak adanya peraturan perundangan yang mengatur secara jelas tentang perbankan di Indonesia (UU No.13 Th.‘68).
b.Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank-bank tertentu.
c.Bank banyak menanggung program-program pemerintah.
d.Instrumen pasar uang yang terbatas.
e.Jumlah bank swasta yang relatif sedikit.
f. Sulitnya pendirian bank baru.
g.Persaingan antar bank yang tidak ketat.
h.Posisi tawar-menawar bank relatif lebih kuat daripada nasabah.
i. Prosedur berhubungan dengan bank yang rumit.
j. Bank bukan merupakan alternatif utama bagi masyarakat luas untuk menyimpan dan meminjam dana.
k. Mobilisasi dana lewat perbankan yang sangat rendah.
1.Deregulasi 1 juni 1983
Memberikan keleluasaan kepada semua bank untuk menyerahkan tingkat suku bunga kepada mekanisme pasar.
2. Deregulasi Oktober 1988
Memberi
keringanan persyaratan bagi bank-bank yang ingin meningkatkan statusnya
menjadi bank devisa, membuka kemungkinan pendirian bank campuran
(kerjasama dengan bank asing) dan memberi kesempatan bagi bank asing
untuk membuka kantor cabang pembantu di kota-kota tertentu.
3.Deregulasi 25 Maret 1989 (penyempurnaan Pakto’88)
Memberi
kesempatan yang lebih luas bagi bank untuk melakukan penyertaan dana
pada lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi jangka
menengah dan panjang.
4. Deregulasi Januari 1990
untuk
membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan
bank-bank membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil
(KUK).
5. Deregulasi 25 Pebruari 1991
Pakfeb
ini ditentukan tingkat kesehatan bank yang menyangkut kecukupan modal
(CAR), pembatasan pemberian kredit yang tidak didukung oleh dana
masyarakat (LDR), persyaratan kepemilikan dan kepengurusan, ketentuan
legal lending limit dan pembentukan cadangan untuk menutupi resiko.
6. Deregulasi 29 Mei 1993
Pakmei
ditujukan untuk mendorong kelancaran ekspansi kredit perbankan dengan
memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada perbankan.
Kondisi Setelah Deregulasi
Kebijakan Deregulasi yang terkait dengan dunia perbankan:
a. Paket 1 Juni 1983
b. Bank Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI
c. Bank Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas diskonto oleh BI.
d. Paket 27 Oktober 1988.
e. Paket 20 Desember 1988.
f. Paket 25 Maret 1989.
g. Paket 29 Januari 1990.
h. Paket 28 Februari 1991.
i. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
j. Paket 29 Mei 1993 tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank.
Ciri perbankan setelah deregulasi :
a. Peraturan yang memberikan kepastian hukum.
b. Jumlah bank swasta bertambah banyak.
c. Tingkat persaingan bank yang semakin kuat.
d. Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
e. Kepercayaan masyarakat terhadap bank meningkat.
f. Mobilisasi dana sektor perbankan yang semakin besar.
Kondisi Saat Krisis Ekonomi
Ciri Kondisi perbankan saat krisis;
a. Tingkat kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap perbankan di Indonesia menurun drastic.
b. Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat.
c. Adanya spread negative.
d. Munculnya penggunaan peraturan yang baru.
e. Jumlah bank menurun.
Kondisi Pasca Krisis Ekonomi
a. Selesainya penyusunan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
b. Serangkaian rencana dan komitmen pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia untuk membentuk atau menyusun:
1. Lembaga penjamin simpanan.
2. Lembaga pengawas perbankan yang independen.
3. Otoritas jasa keuangan..
c. Kinerja perbankan yang lebih baik, yang mengarah kepada praktik:
1. Manajemen pengelolaan risiko yang lebih baik.
2. Struktur perbankan nasional yang lebih baik.
3. Penerapan prinsip kehati-hatian (prudential banking) yang konsisten.
DEREGULASI
perbankan sudah digulirkan sejak 14 tahun yang lalu. Kesan bongkar
pasang itu tak terhindarkan.Bahkan, dari dampak yang kini terasa yaitu
goyahnya sejumlah bank swasta, sangat terasa bahwa aturan-aturan
perbankan Indonesia memang tak didasari pengalaman negara-negara lain
yang sudah lebih lama mengatur tentang bank.
Deregulasi
perbankan yang dikeluarkan pada 1 Juni 1983 mencatat beberapa hal. Di
antaranya: memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menentukan suku
bunga deposito. Kemudian dihapusnya campur tangan
Bank Indonesia terhadap penyaluran kredit. Deregulasi ini juga yang
pertama memperkenalkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat
Berharga Pasar Uang (SPBU). Aturan ini dimaksudkan untuk merangsang
minat berusaha di bidang perbankan Indonesia di masa mendatang Lima
tahun kemudian ada Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang
terkenal itu. Pakto 88 boleh dibilang adalah aturan paling liberal
sepanjang sejarah Republik Indonesia di bidang perbankan.
Contohnya,
hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka
bank baru. Dan kepada bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun
diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bahkan bentuk patungan antar
bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan. Dengan demikian,
secara terang-terangan monopoli dana BUMN oleh bank-bank milik negara
dihapuskan. Bahkan, beberapa bank kemudian menjadi bank devisa karena
persyaratan untuk mendapat predikat itu dilonggarkan. Dengan berbagai
kemudahan Pakto 88, meledaklah jumlah bank di Indonesia. Banyaknya
jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana
deposito dan tabungan jugase makin sengit.
Ujung-ujungnya,
karena bank terus dipacu untuk mencari untung, sisi keamanan penyaluran
dana terabaikan, dan akhirnya kredit macet menggunung. Kondisi ini
kemudian memunculkan Paket Februari 1991(Paktri) yang mendorong
dimulainya proses globalisasi perbankan.
Salah
satu tugasnya adalah berupaya untuk mengatur pembatasan dan pemberatan
persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan modal
minimal 8 % dari kekayaan. Yang diharapkan dalam paket itu adalah akan
adanya peningkatan kualitas perbankan Indonesia. Dengan mewajibkan
bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan bank yang mempergunakan
formula kriteria tertentu, tampaknya paket itu tidak bisa menghindari
kesan sebagai produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus
kolapsnya bank Perbankan Asia, Bank Duta, dan Bank Umum Majapahit.
Setelah
itu, lahir UU Perbankan baru bernomor 7 tahun 1992 yang disahkan oleh
Presiden Soeharto pada 25 Maret 1992. Undang Undang itu merupakan
penyempurnaan UU Nomor 14 tahun 1967. Intinya, UU itu menggarisbawahi
soal peniadaan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan. Kalau UU
yang lama secara tegas menjelaskan soal pemilikan bank/pemerintah,
pemerintah daerah, swasta nasional, dan asing. Mengenai perizinan, pada
UU lama persyaratan mendirikan bank baru ditekankan pada permodalan dan
pemilikan. Pada UU yang baru, persyaratannya meliputi berbagai unsur
seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang
perbankan, kelayakan kerja, dan hal-hal lain yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
Untuk
mengurangi sebagian kendala yang dihadapi perbankan dalam melakukan
ekspansi kredit dan koreksi terhadap Paktri yang begitu mengekang bank,
pemerintah mengeluarkan Paket 29 Mei 1993 (Pakmei). Dengan Pakmei itu,
pemerintah berharap mengucurkan kredit, sehingga dunia usaha tidak lesu
lagi dan industri otomotif bisa bergairah kembali. Disebutkan dalam
Pakmei ini pencapaian CAR (capital adiquacy ratio)– atau perimbangan
antara modal sendiri dan aset –sesuai dengan ketentuan adalah 8 persen.
Kemudian penyempurnaan lain pada paket itu adalah ketentuan loan to
deposit ratio (LDR).
Aturan
yang terakhir diluncurkan adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun
1996 yang ditanda tangani Presiden RI pada 3 Desember 1996. Belajar
dari pengalaman Bank Summa, PP ini sangat menguntungkan para nasabah
karena nasabah bank akan tahu persis rapor banknya. Dengan begitu,
mereka bisa bersiap-siap jika suatusaat banknya sedang goyah atau bahkan
nyaris pailit.
Penilaian Kesehatan Bank
Kesehatan
merupakan hal yang paling penting di dalam berbagai bidang kehidupan,
baik bagi manusia maupun perusahaan. Kondisi yang sehat akan
meningkatkan gairah kerja dan kemampuan kerja serta kemampuan lainnya.
Sama seperti hanya manusia yang harus selalu menjaga kesehatannya,
perbankan juga harus selalu dinilai kesehatannya agar tetap prima dalam
melayani para nasabahnya. Bank yang tidak sehat, bukan hanya
membahayakan dirinya sendiri, akan tetapi pihak lain. Penilaian
kesehatan bank amat penting disebabkan karena bank mengelola dana
masyarakat yang dipercayakan kepada bank. Masyarakat pemilik dana dapat
saja menarik dana yang dimilikinya setiap saat clan bank harus sanggup
mengembalikan dana yang dipakainya jika ingin tetap dipercaya oleh
nasabahnya.
Untuk
menilai suatu kesehatan bank dapat dilihat dari berbagai segi.
Penilaian ini bertujuan untuk menentukan apakah bank tersebut dalam
kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat atau tidak sehat. Bagi
bank yang sehat agar tetap mempertahankan kesehatannya, sedangkan bank
yang sakit untuk segera mengobati penyakitnya. Bank Indonesia sebagai
pengawas dan pembina bank-bank dapat memberikan arahan atau petunjuk
bagaimana bank tersebut harus dijalankan atau bahkan kalau perlu
dihentikan kegiatan operasinya.
Standar
untuk melakukan penilaian kesehatan bank telah ditentukan oleh
pemerintah melalui Bank Indonesia. Kepada bank-bank diharuskan membuat
laporan baik yang bersifat rutin ataupun secara berkala mengenai seluruh
aktivitasnya dalam suatu periode tertentu. Dari laporan ini dipelajari
dan dianalisis, sehingga dapat diketahui kondisi suatu bank. Dengan
diketahui kondisi kesehatannya akan memudahkan bank itu sendiri untuk
memperbaiki kesehatannya.
Penilaian
kesehatan bank dilakukan setiap periode. Dalam setiap penilaian
ditentukan kondisi suatu bank. Bagi bank yang sudah dinilai sebelumnya
dapat pula dinilai apakah ada peningkatan atau penurunan kesehatannya.
Bagi bank yang menurut penilaian sehat atau kesehatannya terus meningkat
tidak jadi masalah, karena itulah yang diharapkan dan supaya tetap
dipertahankan terus. Akan tetapi bagi bank yang terus-menerus tidak
sehat, maka harus mendapat pengarahan atau bahkan sangsi sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Bank
Indonesia sebagai pengawas dan pembina perbankan dapat saja
menyarankan untuk melakukan berbagai perbaikan. Perbaikan-perbaikan
yang akan dilakukan meliputi perubahan manajemen, melakukan penggabungan
seperti merger, konsolidasi, akuisisi atau malah dilikuidasi
(dibubarkan) keberadaannya jika memang sudah parah kondisi bank
tersebut. Pertimbangan untuk hal ini sangat tergantung dari kondisi yang
dialami bank yang bersangkutan. Jika kondisi bank sudah sedemikian
parah, namun masih memiliki beberapa potensi, maka sebaiknya dicarikan
jalan keluarnya dengan model penggabungan usaha dengan bank lainnya.
Sedangkan langkah likuidasi merupakan jalan keluar terakhir dalam
rangka menyelamatkan uang masyarakat.
Referensi :
http://ronnyherryson.blogspot.com/2015_03_01_archive.html